Peraturan Dan Regulasi II
(UU Hak Cipta, Komunikasi
Dan UUITE)
UU NO 19 TENTANG HAK
CIPTA
Di Indonesia, masalah
hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, yaitu, yang berlaku saat ini,
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Berikut ini penjelasan mengenai UU NO 19
secara gari besar :
Ketentuan Umum (BAB I)
Pasal 1
Dalam
undang-undang ini yang dimasud dengan hak cipta adalah hak eksklusif bagi
Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya
atau memberikan izin untuk itu dengan tidak
mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pada
undang-undang ini juga dijelaskan mengenai pencipta (sesorang atau beberapa
orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya menghasilkan ciptaan), ciptaan
( hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya), pemegang hak cipta
(pencipta sebagai pemilik hak cipta atau pihak yang menerima hak tersebut dari
pencipta), pengumuman akan hak cipta tersebut melalui berbagai media, serta
dibahas juga mengenai perbanyakkan yaitu penambahan jumlah suatu ciptaan &
hak terkait yaitu hak yang berkaitan dengan hak cipta adalah hak untuk
memperbanyak atau menyiarkan karya siarnya.
Pada
undang-undang ini juga dibahas mengenai program komputer adalah sekumpulan
instruksi yang diwujudkan dalam bentuk
bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan
media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer
bekerja untuk melakukan fungsi- fungsi khusus atau untuk mencapai hasil
yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang instruksi- instruksi
tersebut.
Hak cipta yang dijelaskan pada pasal ini tidak hanya untuk pencipta yang
meciptakan sebuah inovasi, pelaku di dunia seni juga medapat perhatian dari
pemerintah makanya pada pasal ini terdapat aturan yang mengatur mereka. Tidak
hanya pelaku di dunia saja, produsen rekaman suara, lembaga penyiaran, kuasa,
menteri, dan direktorat jenderal juga diatur dalam ketentuan undang-undang ini.
Untuk memperoleh hak cipta, seorang pencipta harus membuat permohonan
pendaftaran ciptaan yang diajukan ke Direktorat Jenderal. Selanjutnya pencipta
akan mendapat lisensi yaitu izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta untuk
mengumumkan/memperbanyak ciptaannya.
Lingkup Hak Cipta (BAB
II)
Pasal 2
Pada bab ini dibagi menjadi beberapa
bagian antara lain :
1.
Bagian Pertama
Pada bagian ini terdiri dari pasal 2,
pasal3, dan pasal 4 dimana pasal-pasal tersebut membahas mengenai fungsi dan
sifat hak cipta.
Pasal 2
Terdapat 2 ayat yaitu
ayat pertama berisi hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau
pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya. Sedangkan
ayat kedua berisi Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta atas karya
sinematografi dan Program Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau
melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut untuk
kepentingan yang bersifat komersial.
Pasal 3
1)
Hak Cipta dianggap sebagai benda bergerak.
2)
Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan,
baik seluruhnya maupun sebagian karena:
a)
Pewarisan;
b)
Hibah;
c)
Wasiat;
d)
Perjanjian tertulis; atau
e)
Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh
peraturan perundang-undangan.
Pasal 4
1) Hak Cipta yang dimiliki oleh Pencipta,
yang setelah Penciptanya meninggal dunia, menjadi milik ahli warisnya atau
milik penerima wasiat, dan Hak Cipta tersebut tidak dapat disita, kecuali jika
hak itu diperoleh secara melawan hukum.
2) Hak Cipta yang tidak atau belum diumumkan
yang setelah Penciptanya meninggal dunia, menjadi milik ahli warisnya atau
milik penerima wasiat, dan Hak Cipta tersebut tidak dapat disita, kecuali jika
hak itu diperoleh secara melawan hukum.
2.
Bagian Kedua
Pada bagian ini terdapat 5 pasal yaitu
pasal 5, pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9 dimana
pasal-pasal tersebut membahas pencipta. Contohnya:
Pasal 5 :
Menjelaskan kecuali terbukti sebaliknya,
yang dianggap sebagai pencipta yaitu orang yang telah mendaftar di direktorat
jenderal atau yang namanya disebut dalam ciptaan serta pada ceramah yang tidak
menggunakan bahan tertulis dan tidak ada pemberitahuan penciptanya.
Perlindungan Hak Cipta
Untuk perlindungan hak cipta diatur pada
BAB II bagian ketiga dan keempat
3.
Bagian Ketiga
Pada bagian ini terdapat 2 pasal yaitu
Pasal 10 dan Pasal 11 yang mengatur hak cipta atas ciptaan yang penciptanya
tidak diketahui.
Pasal 10 :
1) Negara memegang Hak Cipta atas karya
peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya.
2) Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan
hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat,
dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi,
dan karya seni lainnya.
3) Untuk mengumumkan atau memperbanyak
Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus
terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah
tersebut.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta
yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 11 :
1) Jika suatu Ciptaan tidak diketahui
Penciptanya dan Ciptaan itu belum diterbitkan, Negara memegang Hak Cipta atas
Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.
2) Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan
tetapi tidak diketahui Penciptanya atau pada Ciptaan tersebut hanya tertera
nama samaran Penciptanya, penerbit memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut
untuk kepentingan Penciptanya.
3) Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan
tetapi tidak diketahui Penciptanya dan/atau penerbitnya, Negara memegang Hak
Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.
4.
Bagian Keempat
Pada bagian ini terdapat 2 pasal yaitu
Pasal 12 dan Pasal 13 yang mengatur Ciptaan yang dilindungi :
Pasal 12
1)
Dalam Undang- undang ini Ciptaan yang
dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang
mencakup:
a. buku, Program Komputer, pamflet,
perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis
lain;
b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain
yang sejenis dengan itu;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan
pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. drama atau drama musikal, tari,
koreografi, pewayangan, dan pantomim;
f. seni rupa dalam segala bentuk seperti
seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase,
dan seni terapan;
g. arsitektur;peta;
h. seni batik;
i. fotografi;
j. sinematografi;
k. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai,
database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l
dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas
Ciptaan asli.
3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum
diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang
memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.
Pasal 13
Tidak ada Hak Cipta atas:
a.
hasil rapat terbuka lembaga- lembaga Negara;
b.
peraturan perundang-undangan;
c.
pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
d.
putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
e.
keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan
sejenis lainnya.
Pembatasan Hak
Cipta
Pada undang-undang hak
cipta, mengenai pembatasan hak cipta diatur pada BAB II Bagian Kelima
yaitu terdiri dari pasal 14, pasal 15, pasal 16, pasal 17, dan pasal 18.
Pasal 14 dan 15 membahas tentang hal-hal
yang tidak dianngap sebagai pelanggaran hak cipta. Berikut ini isi dari pasal
14 dan 15.
Pasal 14
Tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak
Cipta:
a. Pengumuman dan/atau Perbanyakan lambang
Negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli;
b. Pengumuman dan/atau Perbanyakan segala
sesuatu yang diumumkan dan/atau diperbanyak oleh atau atas nama Pemerintah,
kecua li apabila Hak Cipta itu dinyatakan dilindungi, baik dengan peraturan
perundang-undangan maupun dengan pernyataan pada Ciptaan itu sendiri atau
ketika Ciptaan itu diumumkan dan/atau diperbanyak; atau
c. Pengambilan berita aktual baik seluruhnya
maupun sebagia n dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau
sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara
lengkap.
Pasal 15
Dengan syarat bahwa sumbernya harus
disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
a. penggunaan Ciptaan pihak lain untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan
yang wajar dari Pencipta;
b. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik
seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar
Pengadilan;
c. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik
seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:
(i) ceramah yang semata- mata untuk tujuan
pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
(II) pertunjukan atau pementasan yang tidak
dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari
Pencipta.
d. Perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu
pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille guna keperluan para
tunanetra, kecuali jika Perbanyakan itu bersifat komersial;
e. Perbanyakan suatu Ciptaan selain Program
Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa
oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat
dokumentasi yang no nkomersial semata- mata untuk keperluan aktivitasnya;
f. perubahan yang dilakukan berdasarkan
pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti Ciptaan
bangunan;
g. pembuatan salinan cadangan suatu Program
Komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk
digunakan sendiri.
Sedangkan pada pasal 16 membahas
mengenai kewajiban pemegang hak cipta untuk menterjemahkan atau memperbanyak
hasil ciptaannya di wilayah negara Republik Indonesia.
Berikut ini isi dari
Pasal 16:
1) Untuk kepentingan pendidikan, ilmu
pengetahuan, serta kegiatan penelitian dan pengembangan, terhadap Ciptaan dalam
bidang ilmu pengetahuan dan sastra, Menteri setelah mendengar pertimbangan
Dewan Hak Cipta dapat:
a)
mewajibkan Pemegang Hak Cipta untuk
melaksanakan sendiri penerjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan tersebut di
wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan;
b) mewajibkan Pemegang Hak Cipta yang
bersangkutan untuk memberikan izin kepada pihak lain untuk menerjemahkan
dan/atau memperbanyak Ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia
dalam waktu yang ditentukan dalam hal Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan
tidak melaksanakan sendiri atau melaksanakan sendiri kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam huruf a;
c) menunjuk pihak lain untuk melakukan
penerjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan tersebut dalam hal Pemegang Hak Cipta
tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
2) Kewajiban untuk menerjemahkan sebagaimana
dimaksud pada ayat(1), dilaksanakan setelah lewat jangka waktu 3 (tiga) tahun
sejak diterbitkannya Ciptaan di bidang ilmu pengetahuan dan sastra selama karya
tersebut belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
3) Kewajiban untuk memperbanyak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah lewat jangka waktu:
a) 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya buku
di bidang matematika dan ilmu pengetahuan alam dan buku itu belum pernah
diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia;
b) 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya buku
di bidang ilmu sosial dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara
Republik Indonesia;
c) 7 (tujuh) tahun sejak diumumkannya buku di
bidang seni dan sastra dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara
Republik Indonesia.
4) Penerjemahan atau Perbanyakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk pemakaian di dalam wilayah
Negara Republik Indonesia dan tidak untuk diekspor ke wilayah Negara lain.
5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dan huruf c disertai pemberian imbalan yang besarnya
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
6) Ketentuan tentang tata cara pengajuan
Permohonan untuk menerjemahkan dan/atau memperbanyak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Presiden.
Sedangkan untuk pasal 17 dan 18
menjelaskan tentang Pembatasan terhadap pengumuman suatu ciptaa. berikut ini
isi pasal 17 & 18.
Pasal 17
Pemerintah melarang Pengumuman setiap
Ciptaan yang bertentangan dengan kebijaksanaan Pemerintah di bidang agama,
pertahanan dan keamanan Negara, kesusilaan, serta ketertiban umum setelah
mendengar pertimbangan Dewan Hak Cipta.
Pasal 18
1) Pengumuman suatu Ciptaan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah untuk kepentingan nasional melalui radio,
televisi dan/atau sarana lain dapat dilakukan dengan tidak meminta izin kepada
Pemegang Hak Cipta dengan ketentuan tidak merugikan kepeningan yang wajar dari
Pemegang Hak Cipta, dan kepada Pemegang Hak Cipta diberikan imbalan yang layak.
2) Lembaga Penyiaran yang mengumumkan Ciptaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang mengabadikan Ciptaan itu semata-
mata untuk Lembaga Penyiaran itu sendiri dengan ketentuan bahwa untuk penyiaran
selanjutnya, Lembaga Penyiaran tersebut harus memberikan imbalan yang layak
kepada Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan.
Prosedur Pendaftaran HaKI
Di Indonesia, pendaftaran ciptaan bukan merupakan suatu keharusan bagi
pencipta atau pemegang hak cipta, dan timbulnya perlindungan suatu ciptaan
dimulai sejak ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena pendaftaran. Namun
demikian, surat pendaftaran ciptaan dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di
pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan. Sesuai
yang diatur pada bab IV Undang-undang Hak Cipta, pendaftaran hak cipta
diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI),
yang kini berada di bawah [Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia]].
Pencipta atau pemilik hak cipta dapat mendaftarkan langsung ciptaannya
maupun melalui konsultan HKI. Permohonan pendaftaran hak cipta dikenakan biaya
(UU 19/2002 pasal 37 ayat 2). Penjelasan prosedur dan formulir pendaftaran hak
cipta dapat diperoleh di kantor maupun situs web Ditjen HKI. “Daftar Umum
Ciptaan” yang mencatat ciptaan-ciptaan terdaftar dikelola oleh Ditjen HKI dan
dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai biaya.
UU NO 36 Tentang
Telekomunikasi
Ketentuan Umum
Pada undang-undang no 36 tentang telekomunikasi, terdapat pada BAB I dan
Pasal 1. Pada bagian ini terdapat pengertian mengenai telekomunikasi,
telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan
dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar,
suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem
elektromagnetik Iainnya.(ayat1)
Pada bagian ini juga dijelaskan mengenai segala sesuatu yang berhubungan
dengan telekomunikasi seperti alat telekomunikasi, perangkat telekomunikasi,
serta sarana dan prasarana telekomunikasi. Dalam undang-undang ini disebutkan
bahwa pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang menggunakan dan
memancarkan gelombang radio.
Dalam telekomunikasi dibutuhkan jaringan telekomunikasi yaitu
rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang
digunakan dalam bertelekomunikasi.(ayat 2-5) Untuk dapat melakukan telekomunikasi
dengan baik dan lancar maka dibutuhkan beberapa pihak, dalam undang-undang ini
dijelaskan pihak-pihak tersebut yaitu jasa telekomunikasi; penyelenggara
telekomunikasi yang dapat terdiri dari perseorangan, koperasi, badan usaha
milik daerah, badan usaha milik negara, badan usaha swasta, instansi
pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara; pelanggan;pemakai;
pengguna(ayat7-11); serta menteri adalah Menteri yang ruang Iingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.(ayat 17).
Azas dan Tujuan
Telekomunikasi
Hal ini diatur dalam undang-undang no 36
BAB II pada pasal 2 dan pasal 3. Untuk azas telekomunikasi diatur di pasal
2 sedangkan untuk tujuan telekomunikasi diatur di pasal 3.
Pasal 2
Telekomunikasi
diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum,
keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri.
Asas manfaat berarti bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya penyelenggaraan
telekomunikasi akan lebih berdaya guna dan berhasil guna. Asas adil dan
merata adalah bahwa penyelenggaraan telekomunikasi memberikan
kesempatan dan perlakuan yang sama kepada semua pihak yang memenuhi syarat dan
hasil- hasilnya dinikmati oleh masyarakat secara adil dan merata.
Asas kepastian hukum berarti bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya penyelenggaraan
telekomunikasi harus didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang menjamin
kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum. Asas kepercayaan
pada diri sendiri, dilaksanakan dengan memanfaatkan secara maksimal potensi
sumber daya nasional secara efisien serta penguasaan teknologi telekomunikasi,
sehingga dapat meningkatkan kemandirian dan mengurangi ketergantungan sebagai
suatu bangsa dalam menghadapi persaingan global.
Asas kemitraanmengandung makna bahwa penyelenggaraan telekomunikasi harus dapat
mengembangkan iklim yang harmonis, timbal balik, dan sinergi, dalam penyelenggaraan
telekomunikasi. Asas keamanan dimaksudkan agar penyelenggaraan
telekomunikasi selalu memperhatikan faktor keamanan dalam perencanaan,
pembangunan, dan pengoperasiannya. Asas etika dimaksudkan agar dalam
penyelenggaraan telekomunikasi senantiasa dilandasi oleh semangat
profesionalisme, kejujuran, kesusilaan, dan keterbukaan.
Pasal 3
Telekomunikasi
diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan
bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan
merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta
meningkatkan hubungan antarbangsa.
Penyelenggaraan Telekomunikasi
Hal ini diatur dalam
undang-undang no 36 pada BAB IV pada pasal7, pasal 8, dan pasal 9.
Pasal 7 :
Pada pasal ini
menjelasakan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi secara
umum. Penyelenggaraan telekomunikasi meliputi : penyelenggaraan
jaringan telekomunikasi; penyelenggaraan jasa
telekomunikasi; penyelenggaraan telekomunikasi khusus. Adapula yang harus
diperhatikan dalam penyelenggaraan telekomunikasi seperti melindungi
kepentingan dan keamanan negara; mengantisipasi perkembangan teknologi dan
tuntutan global; dilakukan secara profesional dan dapat
dipertanggungjawabkan; peran serta masyarakat.
Pasal 8 & 9:
Pada pasal ini
menjelaskan tentang penyelenggaraan telekomunikasi yang dilakukan oleh badan
hukum yang didirikan oleh peraturan perundang-undangan seperti BUMN, BUMD, dll
dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi. Pada pasal ini juga
dijelaskan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi khusus yang dapat dilakukan
oleh perseoranga, instansi pemerintah, badan hukum selain
penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara
jasa telekomunikasi.
Penyelenggara
telekomunikasi khusus dapat menyelenggarakan telekomunikasi untuk
: keperluan sendiri, keperluan pertahanan keamanan
negara, keperluan penyiaran. Ketentuan mengenai persyaratan
penyelenggaraan telekomunikasi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Penyidikan
Hal ini diatur dalam undang-undang no 36
BAB V pada Pasal 44 yaitu
1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Iingkungan
Departemen yang Iingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan
tindak pidana di bidang telekomunikasi.
2)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran Iaporan
atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang dan
atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
c. menghentikan penggunaan alat dan atau
perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku;
d.
memanggil orang untuk didengar dan
diperiksa sebagai saksi atau tersangka;
e. melakukan pemeriksaan alat dan atau
perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan
tindak pidana di bidang telekomunikasi;
f.
menggeledah tempat yang diduga digunakan
untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;g. menyegel dan atau
menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga
berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
g. meminta bantuan ahli dalam rangka
pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi; dan .
h.
mengadakan penghentian penyidik
3) Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diiaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Hukum Acara
Pidana
Sanksi Administrasi
Hal ini diatur dalam
undang-undang no 36 BAB VI pada pasal 45 & 46. Ada dua belas
ketentuan dalam undang-undang ini yang dapat dikenai sanksi administratif
berupa pencabutan izin, yang dilakukan setelah diberi peringatan
tertulis(pasal46). Pengenaan sanksi adminsitrasi dalam ketentuan ini
dimaksudkan sebagai upaya pemerintah dalam rangka pengawasan dan pengendalian
penyelenggaraan telekomunikasi. Keduabelas alasan yang dapat dikenai sanksi
administratif itu adalah terhadap:(pasal 45)
1. setiap penyelenggara jaringan
telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi yang tidak memberikan
kontribusi dalam pelayanan
2. penyelenggara telekomunikasi tidak
memberikan catatan atau rekaman yang diperlukan pengguna;
3. penyelenggara jaringan telekomunikasi yang
tidak menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan telekomunikasi lain untuk
pemenuhan kebutuhan telekomunkasi;
4. penyelenggara telekomunikasi yang
melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan
dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum;
5.
penyelenggara jaringan telekomunikasi yang
tidak menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan
telekomunikasi lainnya;
6.
penyelenggara jaringan telekomunikasi dan
atau penyelenggara jasa telekomunikasi yang tidak membayar biaya hak
penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari prosesntase pendapatan;
7. penyelenggara telekomunikasi khusus untuk
keperluan sendiri dan keperluan pertahanan keamanan negara yang menyambungkan
telekomunikasinya ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya;
8. penyelenggara telekomunikasi khusus untuk
keperluan penyiaran yang menyambungkan telekomunikasinya ke penyelenggara
telekomunikasi lainnya tetapi tidak digunakan untuk keperluan penyiaran;
9.
pengguna spektrum frekuensi radio dan
orbit satelit yang tidak mendapat izin dari Pemerintah;
10.
pengguna spektrum frekuensi radio dan
orbit satelit yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan yang saling menggaggu.
11. pengguna spektrum frekuensi radio
yang tidak membayar biaya penggunaan frekuensi, yang besarannya didasarkan atas
penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi;
12. pengguna orbit satelit yang tidak
membayar biaya hak penggunaan orbit satelit.
Ketentuan Pidana
Hal ini diatur dalam undang-undang no 36
BAB VII pada pasal 47-59.
Pasal 47
Barang siapa yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1),dipidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus
juta rupiah).
Pasal 48
Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 49
Penyelenggara telekomunikasi yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 50
Barang siapa yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,dipidana dengan pidana penjara paling lama
6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
Pasal 51
Penyelenggara komunikasi khusus yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1 ataau Pasal 29
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau
denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal 52
Barang siapa
memperdagangkan,membuat,merakit,memasukan atau menggunakan perangkat
telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan
persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 53
1)
Barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2) dipidana
dengan penjara pidana paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak
Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
2)
Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 54
Barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau Pasal 36 Ayat (2),dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua raatus juta rupiah).
Pasal 55
Barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38,dipidana dengan pidana penjara paling lama
6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
Pasal 56
Barang siapa yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40,dipidana dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun.
Pasal 57
Penyelenggara jasa telekomunikasi yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1),dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 58
Alat dan perangkat telekomunikasi yang
digunakan dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47,Pasal
48,Pasal 52,atau Pasal 56 dirampas oleh negara dan atau dimusnahkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 59
Perbuataan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47,Pasal 48,Pasal 49,Pasal 50,Pasal 51,Pasal 52,Pasal 53,Pasal 54,Pasal
55,Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.
UU tentang Informasi
& Transaksi Elektronik (ITE)
(Peraturan Bank Indonesia tentang
internet banking)
Internet banking merupakan
layanan perbankan yang memiliki banyak sekali manfaatnya bagi pihak bank
sebagai penyedia dan nasabah sebagai penggunanya. Transaksi melalui media
layanan internet banking dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja. Melalui
internet banking, layanan konvensional bank yang komplek dapat ditawarkan
relatif lebih sederhana, efektif, efisien dan murah. Internet banking menjadi
salah satu kunci keberhasilan perkembangan dunia perbankan modern dan
bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa dengan internet banking,
keuntungan (profits) dan pembagian pasar (marketshare) akan semakin besar
dan luas. Internet banking, terdapat pula resiko-resiko yang melekat pada
layanan internet banking, seperti resiko strategik, resiko reputasi, resiko
operasional termasuk resiko keamanan dan resiko hukum, resiko kredit, resiko
pasar dan resiko likuiditas.
Oleh sebab itu, Bank
Indonesia sebagai lembaga pengawas kegiatan perbankan di Indonesia mengeluarkan
Peraturan Bank Indonesia No. 9/15/PBI/2007 Tentang Penerapan Manajemen Resiko
Dalam Penggunaan Teknologi Informasi Pada Bank Umum agar setiap bank yang
menggunakan Teknologi Informasi khususnya internet banking dapat meminimalisir
resiko-resiko yang timbul sehubungan dengan kegiatan tersebut sehingga
mendapatkan manfaat yang maksimal dari internet banking.
Upaya yang dilakukan
Bank Indonesia untuk meminimalisir terjadinya kejahatan internet fraud di
perbankan adalah dengan dikeluarkannya serangkaian peraturan
perundang-undangan, dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat
Edaran Bank Indonesia (SE), yang mewajibkan perbankan untuk menerapkan
manajemen risiko dalam aktivitas internet banking, menerapkan prinsip mengenal
nasabah/Know Your Customer Principles (KYC), mengamankan sistem teknologi
informasinya dalam rangka kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan
menerapkan transparansi informasi mengenai Produk Bank dan penggunan Data
Pribadi Nasabah.
Lebih lanjut, dalam
rangka memberikan payung hukum yang lebih kuat pada transaksi yang dilakukan
melalui media internet yang lebih dikenal dengan cyber law maka perlu segera
dibuat Undang-Undang mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan
Undang-Undang mengenai Transfer Dana (UU Transfer Dana). Dengan adanya kedua
undang-undang tersebut diharapkan dapat menjadi faktor penting dalam upaya
mencegah dan memberantas cybercrimes termasuk mencegah kejahatan internet
fraud.
sumber :
Peraturan Dan Regulasi II
(UU Hak Cipta, Komunikasi
Dan UUITE)
UU NO 19 TENTANG HAK
CIPTA
Di Indonesia, masalah
hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, yaitu, yang berlaku saat ini,
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Berikut ini penjelasan mengenai UU NO 19
secara gari besar :
Ketentuan Umum (BAB I)
Pasal 1
Dalam
undang-undang ini yang dimasud dengan hak cipta adalah hak eksklusif bagi
Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya
atau memberikan izin untuk itu dengan tidak
mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pada
undang-undang ini juga dijelaskan mengenai pencipta (sesorang atau beberapa
orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya menghasilkan ciptaan), ciptaan
( hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya), pemegang hak cipta
(pencipta sebagai pemilik hak cipta atau pihak yang menerima hak tersebut dari
pencipta), pengumuman akan hak cipta tersebut melalui berbagai media, serta
dibahas juga mengenai perbanyakkan yaitu penambahan jumlah suatu ciptaan &
hak terkait yaitu hak yang berkaitan dengan hak cipta adalah hak untuk
memperbanyak atau menyiarkan karya siarnya.
Pada
undang-undang ini juga dibahas mengenai program komputer adalah sekumpulan
instruksi yang diwujudkan dalam bentuk
bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan
media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer
bekerja untuk melakukan fungsi- fungsi khusus atau untuk mencapai hasil
yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang instruksi- instruksi
tersebut.
Hak cipta yang dijelaskan pada pasal ini tidak hanya untuk pencipta yang
meciptakan sebuah inovasi, pelaku di dunia seni juga medapat perhatian dari
pemerintah makanya pada pasal ini terdapat aturan yang mengatur mereka. Tidak
hanya pelaku di dunia saja, produsen rekaman suara, lembaga penyiaran, kuasa,
menteri, dan direktorat jenderal juga diatur dalam ketentuan undang-undang ini.
Untuk memperoleh hak cipta, seorang pencipta harus membuat permohonan
pendaftaran ciptaan yang diajukan ke Direktorat Jenderal. Selanjutnya pencipta
akan mendapat lisensi yaitu izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta untuk
mengumumkan/memperbanyak ciptaannya.
Lingkup Hak Cipta (BAB
II)
Pasal 2
Pada bab ini dibagi menjadi beberapa
bagian antara lain :
1.
Bagian Pertama
Pada bagian ini terdiri dari pasal 2,
pasal3, dan pasal 4 dimana pasal-pasal tersebut membahas mengenai fungsi dan
sifat hak cipta.
Pasal 2
Terdapat 2 ayat yaitu
ayat pertama berisi hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau
pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya. Sedangkan
ayat kedua berisi Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta atas karya
sinematografi dan Program Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau
melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut untuk
kepentingan yang bersifat komersial.
Pasal 3
1)
Hak Cipta dianggap sebagai benda bergerak.
2)
Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan,
baik seluruhnya maupun sebagian karena:
a)
Pewarisan;
b)
Hibah;
c)
Wasiat;
d)
Perjanjian tertulis; atau
e)
Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh
peraturan perundang-undangan.
Pasal 4
1) Hak Cipta yang dimiliki oleh Pencipta,
yang setelah Penciptanya meninggal dunia, menjadi milik ahli warisnya atau
milik penerima wasiat, dan Hak Cipta tersebut tidak dapat disita, kecuali jika
hak itu diperoleh secara melawan hukum.
2) Hak Cipta yang tidak atau belum diumumkan
yang setelah Penciptanya meninggal dunia, menjadi milik ahli warisnya atau
milik penerima wasiat, dan Hak Cipta tersebut tidak dapat disita, kecuali jika
hak itu diperoleh secara melawan hukum.
2.
Bagian Kedua
Pada bagian ini terdapat 5 pasal yaitu
pasal 5, pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9 dimana
pasal-pasal tersebut membahas pencipta. Contohnya:
Pasal 5 :
Menjelaskan kecuali terbukti sebaliknya,
yang dianggap sebagai pencipta yaitu orang yang telah mendaftar di direktorat
jenderal atau yang namanya disebut dalam ciptaan serta pada ceramah yang tidak
menggunakan bahan tertulis dan tidak ada pemberitahuan penciptanya.
Perlindungan Hak Cipta
Untuk perlindungan hak cipta diatur pada
BAB II bagian ketiga dan keempat
3.
Bagian Ketiga
Pada bagian ini terdapat 2 pasal yaitu
Pasal 10 dan Pasal 11 yang mengatur hak cipta atas ciptaan yang penciptanya
tidak diketahui.
Pasal 10 :
1) Negara memegang Hak Cipta atas karya
peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya.
2) Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan
hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat,
dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi,
dan karya seni lainnya.
3) Untuk mengumumkan atau memperbanyak
Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus
terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah
tersebut.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta
yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 11 :
1) Jika suatu Ciptaan tidak diketahui
Penciptanya dan Ciptaan itu belum diterbitkan, Negara memegang Hak Cipta atas
Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.
2) Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan
tetapi tidak diketahui Penciptanya atau pada Ciptaan tersebut hanya tertera
nama samaran Penciptanya, penerbit memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut
untuk kepentingan Penciptanya.
3) Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan
tetapi tidak diketahui Penciptanya dan/atau penerbitnya, Negara memegang Hak
Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.
4.
Bagian Keempat
Pada bagian ini terdapat 2 pasal yaitu
Pasal 12 dan Pasal 13 yang mengatur Ciptaan yang dilindungi :
Pasal 12
1)
Dalam Undang- undang ini Ciptaan yang
dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang
mencakup:
a. buku, Program Komputer, pamflet,
perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis
lain;
b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain
yang sejenis dengan itu;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan
pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. drama atau drama musikal, tari,
koreografi, pewayangan, dan pantomim;
f. seni rupa dalam segala bentuk seperti
seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase,
dan seni terapan;
g. arsitektur;peta;
h. seni batik;
i. fotografi;
j. sinematografi;
k. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai,
database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l
dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas
Ciptaan asli.
3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum
diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang
memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.
Pasal 13
Tidak ada Hak Cipta atas:
a.
hasil rapat terbuka lembaga- lembaga Negara;
b.
peraturan perundang-undangan;
c.
pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
d.
putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
e.
keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan
sejenis lainnya.
Pembatasan Hak
Cipta
Pada undang-undang hak
cipta, mengenai pembatasan hak cipta diatur pada BAB II Bagian Kelima
yaitu terdiri dari pasal 14, pasal 15, pasal 16, pasal 17, dan pasal 18.
Pasal 14 dan 15 membahas tentang hal-hal
yang tidak dianngap sebagai pelanggaran hak cipta. Berikut ini isi dari pasal
14 dan 15.
Pasal 14
Tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak
Cipta:
a. Pengumuman dan/atau Perbanyakan lambang
Negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli;
b. Pengumuman dan/atau Perbanyakan segala
sesuatu yang diumumkan dan/atau diperbanyak oleh atau atas nama Pemerintah,
kecua li apabila Hak Cipta itu dinyatakan dilindungi, baik dengan peraturan
perundang-undangan maupun dengan pernyataan pada Ciptaan itu sendiri atau
ketika Ciptaan itu diumumkan dan/atau diperbanyak; atau
c. Pengambilan berita aktual baik seluruhnya
maupun sebagia n dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau
sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara
lengkap.
Pasal 15
Dengan syarat bahwa sumbernya harus
disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
a. penggunaan Ciptaan pihak lain untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan
yang wajar dari Pencipta;
b. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik
seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar
Pengadilan;
c. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik
seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:
(i) ceramah yang semata- mata untuk tujuan
pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
(II) pertunjukan atau pementasan yang tidak
dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari
Pencipta.
d. Perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu
pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille guna keperluan para
tunanetra, kecuali jika Perbanyakan itu bersifat komersial;
e. Perbanyakan suatu Ciptaan selain Program
Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa
oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat
dokumentasi yang no nkomersial semata- mata untuk keperluan aktivitasnya;
f. perubahan yang dilakukan berdasarkan
pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti Ciptaan
bangunan;
g. pembuatan salinan cadangan suatu Program
Komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk
digunakan sendiri.
Sedangkan pada pasal 16 membahas
mengenai kewajiban pemegang hak cipta untuk menterjemahkan atau memperbanyak
hasil ciptaannya di wilayah negara Republik Indonesia.
Berikut ini isi dari
Pasal 16:
1) Untuk kepentingan pendidikan, ilmu
pengetahuan, serta kegiatan penelitian dan pengembangan, terhadap Ciptaan dalam
bidang ilmu pengetahuan dan sastra, Menteri setelah mendengar pertimbangan
Dewan Hak Cipta dapat:
a) mewajibkan Pemegang Hak Cipta untuk melaksanakan sendiri penerjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan;
b) mewajibkan Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan untuk memberikan izin kepada pihak lain untuk menerjemahkan dan/atau memperbanyak Ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan dalam hal Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan tidak melaksanakan sendiri atau melaksanakan sendiri kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c) menunjuk pihak lain untuk melakukan penerjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan tersebut dalam hal Pemegang Hak Cipta tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
a) mewajibkan Pemegang Hak Cipta untuk melaksanakan sendiri penerjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan;
b) mewajibkan Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan untuk memberikan izin kepada pihak lain untuk menerjemahkan dan/atau memperbanyak Ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan dalam hal Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan tidak melaksanakan sendiri atau melaksanakan sendiri kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c) menunjuk pihak lain untuk melakukan penerjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan tersebut dalam hal Pemegang Hak Cipta tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
2) Kewajiban untuk menerjemahkan sebagaimana
dimaksud pada ayat(1), dilaksanakan setelah lewat jangka waktu 3 (tiga) tahun
sejak diterbitkannya Ciptaan di bidang ilmu pengetahuan dan sastra selama karya
tersebut belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
3) Kewajiban untuk memperbanyak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah lewat jangka waktu:
a) 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang matematika dan ilmu pengetahuan alam dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia;
b) 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang ilmu sosial dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia;
c) 7 (tujuh) tahun sejak diumumkannya buku di bidang seni dan sastra dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia.
a) 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang matematika dan ilmu pengetahuan alam dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia;
b) 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang ilmu sosial dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia;
c) 7 (tujuh) tahun sejak diumumkannya buku di bidang seni dan sastra dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia.
4) Penerjemahan atau Perbanyakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk pemakaian di dalam wilayah
Negara Republik Indonesia dan tidak untuk diekspor ke wilayah Negara lain.
5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dan huruf c disertai pemberian imbalan yang besarnya
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
6) Ketentuan tentang tata cara pengajuan
Permohonan untuk menerjemahkan dan/atau memperbanyak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Presiden.
Sedangkan untuk pasal 17 dan 18
menjelaskan tentang Pembatasan terhadap pengumuman suatu ciptaa. berikut ini
isi pasal 17 & 18.
Pasal 17
Pemerintah melarang Pengumuman setiap
Ciptaan yang bertentangan dengan kebijaksanaan Pemerintah di bidang agama,
pertahanan dan keamanan Negara, kesusilaan, serta ketertiban umum setelah
mendengar pertimbangan Dewan Hak Cipta.
Pasal 18
1) Pengumuman suatu Ciptaan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah untuk kepentingan nasional melalui radio,
televisi dan/atau sarana lain dapat dilakukan dengan tidak meminta izin kepada
Pemegang Hak Cipta dengan ketentuan tidak merugikan kepeningan yang wajar dari
Pemegang Hak Cipta, dan kepada Pemegang Hak Cipta diberikan imbalan yang layak.
2) Lembaga Penyiaran yang mengumumkan Ciptaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang mengabadikan Ciptaan itu semata-
mata untuk Lembaga Penyiaran itu sendiri dengan ketentuan bahwa untuk penyiaran
selanjutnya, Lembaga Penyiaran tersebut harus memberikan imbalan yang layak
kepada Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan.
Prosedur Pendaftaran HaKI
Di Indonesia, pendaftaran ciptaan bukan merupakan suatu keharusan bagi
pencipta atau pemegang hak cipta, dan timbulnya perlindungan suatu ciptaan
dimulai sejak ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena pendaftaran. Namun
demikian, surat pendaftaran ciptaan dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di
pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan. Sesuai
yang diatur pada bab IV Undang-undang Hak Cipta, pendaftaran hak cipta
diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI),
yang kini berada di bawah [Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia]].
Pencipta atau pemilik hak cipta dapat mendaftarkan langsung ciptaannya
maupun melalui konsultan HKI. Permohonan pendaftaran hak cipta dikenakan biaya
(UU 19/2002 pasal 37 ayat 2). Penjelasan prosedur dan formulir pendaftaran hak
cipta dapat diperoleh di kantor maupun situs web Ditjen HKI. “Daftar Umum
Ciptaan” yang mencatat ciptaan-ciptaan terdaftar dikelola oleh Ditjen HKI dan
dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai biaya.
UU NO 36 Tentang
Telekomunikasi
Ketentuan Umum
Pada undang-undang no 36 tentang telekomunikasi, terdapat pada BAB I dan
Pasal 1. Pada bagian ini terdapat pengertian mengenai telekomunikasi,
telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan
dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar,
suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem
elektromagnetik Iainnya.(ayat1)
Pada bagian ini juga dijelaskan mengenai segala sesuatu yang berhubungan
dengan telekomunikasi seperti alat telekomunikasi, perangkat telekomunikasi,
serta sarana dan prasarana telekomunikasi. Dalam undang-undang ini disebutkan
bahwa pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang menggunakan dan
memancarkan gelombang radio.
Dalam telekomunikasi dibutuhkan jaringan telekomunikasi yaitu
rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang
digunakan dalam bertelekomunikasi.(ayat 2-5) Untuk dapat melakukan telekomunikasi
dengan baik dan lancar maka dibutuhkan beberapa pihak, dalam undang-undang ini
dijelaskan pihak-pihak tersebut yaitu jasa telekomunikasi; penyelenggara
telekomunikasi yang dapat terdiri dari perseorangan, koperasi, badan usaha
milik daerah, badan usaha milik negara, badan usaha swasta, instansi
pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara; pelanggan;pemakai;
pengguna(ayat7-11); serta menteri adalah Menteri yang ruang Iingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.(ayat 17).
Azas dan Tujuan
Telekomunikasi
Hal ini diatur dalam undang-undang no 36
BAB II pada pasal 2 dan pasal 3. Untuk azas telekomunikasi diatur di pasal
2 sedangkan untuk tujuan telekomunikasi diatur di pasal 3.
Pasal 2
Telekomunikasi
diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum,
keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri.
Asas manfaat berarti bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya penyelenggaraan
telekomunikasi akan lebih berdaya guna dan berhasil guna. Asas adil dan
merata adalah bahwa penyelenggaraan telekomunikasi memberikan
kesempatan dan perlakuan yang sama kepada semua pihak yang memenuhi syarat dan
hasil- hasilnya dinikmati oleh masyarakat secara adil dan merata.
Asas kepastian hukum berarti bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya penyelenggaraan
telekomunikasi harus didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang menjamin
kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum. Asas kepercayaan
pada diri sendiri, dilaksanakan dengan memanfaatkan secara maksimal potensi
sumber daya nasional secara efisien serta penguasaan teknologi telekomunikasi,
sehingga dapat meningkatkan kemandirian dan mengurangi ketergantungan sebagai
suatu bangsa dalam menghadapi persaingan global.
Asas kemitraanmengandung makna bahwa penyelenggaraan telekomunikasi harus dapat
mengembangkan iklim yang harmonis, timbal balik, dan sinergi, dalam penyelenggaraan
telekomunikasi. Asas keamanan dimaksudkan agar penyelenggaraan
telekomunikasi selalu memperhatikan faktor keamanan dalam perencanaan,
pembangunan, dan pengoperasiannya. Asas etika dimaksudkan agar dalam
penyelenggaraan telekomunikasi senantiasa dilandasi oleh semangat
profesionalisme, kejujuran, kesusilaan, dan keterbukaan.
Pasal 3
Telekomunikasi
diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan
bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan
merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta
meningkatkan hubungan antarbangsa.
Penyelenggaraan Telekomunikasi
Hal ini diatur dalam
undang-undang no 36 pada BAB IV pada pasal7, pasal 8, dan pasal 9.
Pasal 7 :
Pada pasal ini
menjelasakan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi secara
umum. Penyelenggaraan telekomunikasi meliputi : penyelenggaraan
jaringan telekomunikasi; penyelenggaraan jasa
telekomunikasi; penyelenggaraan telekomunikasi khusus. Adapula yang harus
diperhatikan dalam penyelenggaraan telekomunikasi seperti melindungi
kepentingan dan keamanan negara; mengantisipasi perkembangan teknologi dan
tuntutan global; dilakukan secara profesional dan dapat
dipertanggungjawabkan; peran serta masyarakat.
Pasal 8 & 9:
Pada pasal ini
menjelaskan tentang penyelenggaraan telekomunikasi yang dilakukan oleh badan
hukum yang didirikan oleh peraturan perundang-undangan seperti BUMN, BUMD, dll
dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi. Pada pasal ini juga
dijelaskan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi khusus yang dapat dilakukan
oleh perseoranga, instansi pemerintah, badan hukum selain
penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara
jasa telekomunikasi.
Penyelenggara
telekomunikasi khusus dapat menyelenggarakan telekomunikasi untuk
: keperluan sendiri, keperluan pertahanan keamanan
negara, keperluan penyiaran. Ketentuan mengenai persyaratan
penyelenggaraan telekomunikasi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Penyidikan
Hal ini diatur dalam undang-undang no 36
BAB V pada Pasal 44 yaitu
1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Iingkungan
Departemen yang Iingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan
tindak pidana di bidang telekomunikasi.
2)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berwenang :
h. mengadakan penghentian penyidik
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran Iaporan
atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang dan
atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
c. menghentikan penggunaan alat dan atau
perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku;
d.
memanggil orang untuk didengar dan
diperiksa sebagai saksi atau tersangka;
e. melakukan pemeriksaan alat dan atau
perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan
tindak pidana di bidang telekomunikasi;
f.
menggeledah tempat yang diduga digunakan
untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;g. menyegel dan atau
menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga
berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
g. meminta bantuan ahli dalam rangka
pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi; dan .h. mengadakan penghentian penyidik
3) Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diiaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Hukum Acara
Pidana
Sanksi Administrasi
Hal ini diatur dalam
undang-undang no 36 BAB VI pada pasal 45 & 46. Ada dua belas
ketentuan dalam undang-undang ini yang dapat dikenai sanksi administratif
berupa pencabutan izin, yang dilakukan setelah diberi peringatan
tertulis(pasal46). Pengenaan sanksi adminsitrasi dalam ketentuan ini
dimaksudkan sebagai upaya pemerintah dalam rangka pengawasan dan pengendalian
penyelenggaraan telekomunikasi. Keduabelas alasan yang dapat dikenai sanksi
administratif itu adalah terhadap:(pasal 45)
1. setiap penyelenggara jaringan
telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi yang tidak memberikan
kontribusi dalam pelayanan
2. penyelenggara telekomunikasi tidak
memberikan catatan atau rekaman yang diperlukan pengguna;
3. penyelenggara jaringan telekomunikasi yang
tidak menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan telekomunikasi lain untuk
pemenuhan kebutuhan telekomunkasi;
4. penyelenggara telekomunikasi yang
melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan
dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum;
5.
penyelenggara jaringan telekomunikasi yang
tidak menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan
telekomunikasi lainnya;
6.
penyelenggara jaringan telekomunikasi dan
atau penyelenggara jasa telekomunikasi yang tidak membayar biaya hak
penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari prosesntase pendapatan;
7. penyelenggara telekomunikasi khusus untuk
keperluan sendiri dan keperluan pertahanan keamanan negara yang menyambungkan
telekomunikasinya ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya;
8. penyelenggara telekomunikasi khusus untuk
keperluan penyiaran yang menyambungkan telekomunikasinya ke penyelenggara
telekomunikasi lainnya tetapi tidak digunakan untuk keperluan penyiaran;
9.
pengguna spektrum frekuensi radio dan
orbit satelit yang tidak mendapat izin dari Pemerintah;
10.
pengguna spektrum frekuensi radio dan
orbit satelit yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan yang saling menggaggu.
11. pengguna spektrum frekuensi radio
yang tidak membayar biaya penggunaan frekuensi, yang besarannya didasarkan atas
penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi;
12. pengguna orbit satelit yang tidak
membayar biaya hak penggunaan orbit satelit.
Ketentuan Pidana
Hal ini diatur dalam undang-undang no 36
BAB VII pada pasal 47-59.
Pasal 47
Barang siapa yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1),dipidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus
juta rupiah).
Pasal 48
Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 49
Penyelenggara telekomunikasi yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 50
Barang siapa yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,dipidana dengan pidana penjara paling lama
6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
Pasal 51
Penyelenggara komunikasi khusus yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1 ataau Pasal 29
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau
denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal 52
Barang siapa
memperdagangkan,membuat,merakit,memasukan atau menggunakan perangkat
telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan
persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 53
1)
Barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2) dipidana
dengan penjara pidana paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak
Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
2)
Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 54
Barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau Pasal 36 Ayat (2),dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua raatus juta rupiah).
Pasal 55
Barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38,dipidana dengan pidana penjara paling lama
6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
Pasal 56
Barang siapa yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40,dipidana dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun.
Pasal 57
Penyelenggara jasa telekomunikasi yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1),dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 58
Alat dan perangkat telekomunikasi yang
digunakan dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47,Pasal
48,Pasal 52,atau Pasal 56 dirampas oleh negara dan atau dimusnahkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 59
Perbuataan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47,Pasal 48,Pasal 49,Pasal 50,Pasal 51,Pasal 52,Pasal 53,Pasal 54,Pasal
55,Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.
UU tentang Informasi
& Transaksi Elektronik (ITE)
(Peraturan Bank Indonesia tentang
internet banking)
Internet banking merupakan
layanan perbankan yang memiliki banyak sekali manfaatnya bagi pihak bank
sebagai penyedia dan nasabah sebagai penggunanya. Transaksi melalui media
layanan internet banking dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja. Melalui
internet banking, layanan konvensional bank yang komplek dapat ditawarkan
relatif lebih sederhana, efektif, efisien dan murah. Internet banking menjadi
salah satu kunci keberhasilan perkembangan dunia perbankan modern dan
bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa dengan internet banking,
keuntungan (profits) dan pembagian pasar (marketshare) akan semakin besar
dan luas. Internet banking, terdapat pula resiko-resiko yang melekat pada
layanan internet banking, seperti resiko strategik, resiko reputasi, resiko
operasional termasuk resiko keamanan dan resiko hukum, resiko kredit, resiko
pasar dan resiko likuiditas.
Oleh sebab itu, Bank
Indonesia sebagai lembaga pengawas kegiatan perbankan di Indonesia mengeluarkan
Peraturan Bank Indonesia No. 9/15/PBI/2007 Tentang Penerapan Manajemen Resiko
Dalam Penggunaan Teknologi Informasi Pada Bank Umum agar setiap bank yang
menggunakan Teknologi Informasi khususnya internet banking dapat meminimalisir
resiko-resiko yang timbul sehubungan dengan kegiatan tersebut sehingga
mendapatkan manfaat yang maksimal dari internet banking.
Upaya yang dilakukan
Bank Indonesia untuk meminimalisir terjadinya kejahatan internet fraud di
perbankan adalah dengan dikeluarkannya serangkaian peraturan
perundang-undangan, dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat
Edaran Bank Indonesia (SE), yang mewajibkan perbankan untuk menerapkan
manajemen risiko dalam aktivitas internet banking, menerapkan prinsip mengenal
nasabah/Know Your Customer Principles (KYC), mengamankan sistem teknologi
informasinya dalam rangka kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan
menerapkan transparansi informasi mengenai Produk Bank dan penggunan Data
Pribadi Nasabah.
Lebih lanjut, dalam
rangka memberikan payung hukum yang lebih kuat pada transaksi yang dilakukan
melalui media internet yang lebih dikenal dengan cyber law maka perlu segera
dibuat Undang-Undang mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan
Undang-Undang mengenai Transfer Dana (UU Transfer Dana). Dengan adanya kedua
undang-undang tersebut diharapkan dapat menjadi faktor penting dalam upaya
mencegah dan memberantas cybercrimes termasuk mencegah kejahatan internet
fraud.
sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar